Keringat ditukar dengan uang, waktu ditukar dengan uang, dan uang ditukar dengan barang. Tapi jangan sampe semuanya jadi media tukar menukar. Bisa Gawat??
Gw ga secara utuh menolak pertukaran. Karena memang itu nature dari kehidupan.
Ada yang butuh ada yang ngasih, ada yang kurang ada yang lebih, tapi emang kita terbatas hanya sampe sini aja?
Kenapa ini jadi masalah? Gaada yang salah dengan transaksi, tapi gw harap sih jangan sampe kita membatasi diri hanya di level cara pandang transaksi aja. Karena kalo kita aplikasikan logic yang sama, apa yang jadi alasan kita untuk bersedekah dan menolong orang lain kalo kita ga keluar dari sudut pandang transaksi ini?
Bersedekah biar dapet pahala, menolong orang biar nanti ditolong orang pula, membahagiakan orang lain biar nanti kita dibahagiakan juga, atau rajin ibadah biar dipuji calon mertua. 😂
Gaada yang salah juga kok kalo mikirnya begitu. Tapi ini kadang membawa lebih banyak keburuhkan daripada kebaikan. Gw punya cara untuk bisa keluar dari sudut pandang transaksi itu atau setidaknya memanfaatkan konsep ini untuk greater good. Kita mulai dari greater good.
Greater Good: Perluas identitasmu
Transaksi dari yang gw liat itu sebenarnya cukup simpel, yaitu terjadinya pertukaran antara A dan B dengan media tertentu yang dianggap berharga bagi satu sama lain. Gw coba berangkat dari pertanyaan “apa yang membuat sesuatu itu berharga?” sehingga terjadi pertukaran dengan hal yang sama.
Umumnya, pertukaran yang dilihat oleh orang lain berfokus pada apa yang ditawarkan atau istilah yg gw pake itu “face value” (nilai yang nampak di depan). Misal, TV ditukar dengan uang senilai 20 juta (read: dijual). Tapi, ada komponen lain yang tidak nampak, istilah yang gw pake itu “inner value” (nilai intrinsik).
Mungkin bagi orang lain, 20 juta itu kemahalan untuk sebuah TV yang bukan barang produktif. Alasannya bisa saja karena 20 juta bisa digunakan untuk keperluan lain yang lbeih penting, hal ini membuat TV tersebut tidak bernilai dimata orang itu.
Tapi, bisa saja bagi segelintir orang, TV dengan harga 20 juta itu memilik nilai yang se-worth-it itu untuk dibeli karena fiturnya yang dia cari. Sehingga baginya TV ini berharga dan mendorong terjadinya transaksi.
Kalo kita aplikasikan logika tersebut dalam konteks sedekah, mungkin jadinya kita berpikir dalam ranah “apa baiknya/untungnya buat gw”. Nah, hal ini yang bikin “transaksi” jadi ga baik. Karena transaksi membuat kita kehilangan poin ikhlas dan tulus. Kalo kita pun bersedekah karena perintah Tuhan atau karena kata orang biar hidup kita dimudahkan, tetap saja rasa ikhlas dan tulus itu hilang dan berubah menjadi alat tukar atau transaksi.
Kenapa bisa gitu? karena kita membatasi diri dengan mengidentifikasikan penerima manfaat dengan diri kita sendiri. Maka dari itu, salah satu cara yang gw gunakan supaya bisa setidaknya meningkatkan elemen ikhlas dalam transaksi itu dengan memperluas identitas gw. Ini yang gw sebut sebagai Greater Good.
Logikanya seperti ini. Kalo gw sedekah dengan orang yang membutuhkan itu, mungkin gw gaada gain materialistic value dari situ, tapi gw akan merasa senang dan memvalidasi kebermanfaatan gw sebagai manusia serta membantu orang yang kesulitan tersebut. Secara ga langsung itu juga jadi contoh untuk orang lain. Manfaatnya ga cuma gw dapet pahala atas kebaikan gw, tapi juga kebaikan bagi orang lain dan semuanya.
Jadi, kita ga membatasi diri dengan menghargai kebutuhan kita sendiri tapi juga orang lain yang terlibat.
Elemen ketulusan dan keikhlasan disini bisa diperdebatkan yaa, tapi gw coba jawab dengan cara selanjutnya yang mengembalikan secara penuh elemen ikhlas dan ketulusan.
It Just Necessary: Giving but not expecting
Gw mention diawal kalo transaksi itu memang nature dari kehidupan. Udara memberikan oksigen, kita pun menghirup oksigen supaya kita bisa bernafas. Bernafas itu adalah transaksi. Tapi apakah saat kita bernafas secara sadar mengharap supaya kita bisa hidup? Tidak, itu terjadi secara otomatis dan alami tanpa harus kita memliki maksud. It just happening.
Cara gw memahami hal itu dengan berpikir dalam konteks “gw perlu melakukan ini” atau “it just necessary”. Dengan begitu, gw menghilangkan ekspektasi dan harapan. Membiarkan diri gw terbuka dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Coba kita aplikasikan dalam sedekah. Misal ada orang yang membutuhkan atau secara spesifik dari penilaian gw sendiri bahwa orang itu memang benar” membutuhkan. Gw akan memberikan apa yang bisa gw berikan untuk membantu orang tersebut.
Udah, sampe situ aja. Ga mikir kemana”. Ga mikirin “untungnya buat gw apa” atau “kenapa harus gw” atau “entar kalo gw ga bantuin gimana”.
Dengan membuat diri gw berfokus pada momen tersebut dan apa yang perlu dilakukan, gw menghilangkan atau menonaktifkan trigger untuk mencari elemen transaksi “A dan B” sehingga gw terbebas dari pikiran untuk gain value untuk gw dan terbebas dari rasa bersalah apabila gw memang gabisa membantu.
Bahkan kita tidak berpikiran apakah kita membantu orang tersebut dengan ikhlas atau tidak. Dengan berfikir pada apa yang perlu kita lakukan, kita juga menghilangkan keraguan atas apa yang kita lakukan. Because we just do what is necessary. If it good it will show up, if it wrong, then show up anyway.
Tapi bagi gw, keikhlasan dan ketulusan itu bukan sesuatu yang kita berikan, tapi adalah apa yang orang lain kesankan terhadap perbuatan mu.
Akhir Kata
Secara ga sadar, ini gw sedikit memperkenalkan kalian dengan konsep “karma”. Memang tidak benar” menggambarkan, tapi cukup mirip dan mungkin akan gw jelaskan di lain waktu. Tapi, yang kita bisa ambil dari tulisan ini adalah jangan membatasi diri kita dengan transaksi, karena banyak hal yang tidak bisa atau mustahil bisa terjadi kalau cara pandang kita hanya pada transaksi, risk and benefit, untung dan rugi. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat.
Terima kasih telah membaca.